• Home
  • KAIN TENUN SUBAHNALE

KAIN TENUN SUBAHNALE



Lantunan kalimat tasbih Subhanallah (Maha Suci Allah SWT) berulang kali terucap dari setiap mulut wanita suku Sasak di Desa Sekarara, Lombok, Nusa Tenggara Barat, saat sedang menenun. Kalimat tasbih itu merupakan asal muasal kain tenun khas Lombok yang bernama tenun Subahnale.

Pengulangan lafaz Subhanallah merupakan wujud emosional mereka ketika membuat tenun Subahnale. Pasalnya, kain itu memiliki tingkat kerumitan tinggi dan dikerjakan dengan cara manual menggunakan alat tenun tradisional.

Kain Subahnale memiliki kekhasan sendiri dibandingkan dengan kain tenun lain. Kain itu memiliki motif segi enam, yang di dalam setiap motif tersebut, berisi berbagai corak, mulai dari bunga hingga bentuk abstrak.

Motif yang terbangun di dalam tenun tersebut pun tidak dibuat sembarangan. Itu merupakan warisan yang diberikan oleh leluhur suku Sasak sejak dahulu kala. Hal itulah yang juga menjadi nilai tambah bagi tenun Subahnale.

Proses membuat kain Subahnale dilakukan dengan cara menyusun setiap helai benang secara horizontal. Jenis benang yang digunakan adalah benang katun. Sementara pewarnaan benang masih menggunakan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan.

Waktu penggarapan setiap tenun Subahnale tidak bisa ditentukan. Namun pada umumnya, tiap helai kain itu dikerjakan paling cepat selama satu bulan. Lamanya waktu penenunan itu dipengaruhi oleh tingkat kesulitan dari motif, serta ukuran setiap tenun.

Pada umumnya, ukuran tiap satu helai tenun Subahnale bervariasi, mulai 1 meter x 50 centimeter, hingga 2 meter x 1 meter. Ukuran kain tersebut sesuai dengan fungsinya, mulai dari untuk hiasan, hingga untuk pakaian.

Tenun Subahnale sangat bernilai bagi perempuan keturunan suku Sasak. Tenun itu merupakan mahar yang wajib diberi wanita kepada setiap pria yang meminangnya. Oleh karena itu, setiap wanita Sasak diwajibkan untuk bisa membuat kain tersebut. Kalau tidak bisa membuat kain Subahnale, belum bisa menikah.

Pembuatan tenun biasa dilakukan mulai pertengahan tahun hingga akhir tahun. Sebelumnya, para wanita Sasak membantu para pria bercocok tanam di ladang. Kebiasaan itu juga dilakukan nenek moyang suku Sasak, yang terus dipraktikkan hingga kini.

Tenun Songket merupakan salah satu sumber pendapatan para masyarakat Desa Sekarara. 

tiap harga satu tenun tergantung dari ukuran dan kerumitan. Oleh karena itu, harga satu helai tenun Songket bisa berkisar ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Kain tenun Subahnale dari Suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, masih dibuat secara manual menggunakan alat tenun bukan mesin. 

Di era kemajuan teknologi dan perkembangan pariwisata, penenun di Desa Sekarara mulai berkurang. Para remaja keturunan Sasak kini lebih memilih bekerja di sektor pariwisata atau pergi ke ibu kota.

Hingga kini, penenun yang ada di Desa Sekarara hanya berjumlah puluhan. Padahal dahulu, setiap perempuan keturunan sasak wajib menjadi penenun untuk menjaga nilai budaya leluhur.

Meski demikian, kemajuan pariwisata di Lombok akan berdampak positif bagi kelestarian tenun Subahnale, perkembangan pariwisata akan mendongkrak perhatian pemerintah untuk menjaga aset budaya tersebut.

Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nusa Tenggara Barat menyebut, kunjungan pariwisata ke Lombok tahun ini mengalami peningkatan signifikan, yaitu sebesar 21 persen dari evaluasi kunjungan wisatawan tahun lalu yang mencapai 2 juta lebih wisatawan.

Tahun ini, Disbudpar NTB juga menargetkan bisa menjaring 3 juta wisatawan, baik mancanegara maupun lokal. Hal tersebut merupakan bentuk keyakinan Pemerintah NTB atas banyaknya aset wisata yang ada NTB, khususnya Lombok.